Menjaga Penegakan Hukum dari Jerat Fishing Expedition
Provinsi Lampung- Penegakan hukum pidana, khususnya dalam perkara korupsi, adalah pilar penting dalam menjaga kepercayaan publik terhadap institusi negara. Namun, penting juga untuk diingat bahwa kekuasaan untuk menyelidiki dan menyidik tidak boleh dilakukan tanpa batas. Dalam praktiknya, terdapat satu pendekatan yang kerap dikritik dalam dunia hukum modern, yaitu praktik yang dikenal sebagai *fishing expedition*.
*Istilah ini mengacu pada metode penyidikan yang dilakukan tanpa dasar bukti permulaan yang kuat, melainkan berdasarkan harapan bahwa bukti akan ditemukan dalam proses yang luas dan tak terarah.* Praktik seperti ini berpotensi menjadikan seseorang atau suatu institusi sebagai target hanya karena kecurigaan, bukan karena adanya indikasi tindak pidana yang konkret.
Meskipun “fishing expedition” bukan istilah formal dalam hukum positif Indonesia, substansinya bertentangan langsung dengan prinsip-prinsip dasar yang dijunjung tinggi dalam sistem peradilan pidana nasional. KUHAP secara tegas menyebut bahwa penyidikan hanya dapat dilakukan **“untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya”**—bukan untuk mencari-cari kemungkinan adanya pelanggaran hukum.
Lebih dari itu, praktik semacam ini juga bertentangan dengan semangat **Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman**, yang mengatur bahwa:
> *“Peradilan dilaksanakan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.”* Lama dan tidak terarahnya proses penyidikan—terutama bila tidak menghasilkan perkembangan berarti selama berbulan-bulan atau bahkan lebih dari satu tahun—dapat menjadi indikator kuat bahwa penegakan hukum tengah mengalami deviasi dari prinsip dasarnya: efisien, adil, dan berbasis bukti.
Praktik penyidikan yang menyerupai *fishing expedition* juga berisiko merusak wibawa hukum itu sendiri. Alih-alih menegakkan keadilan, penyidikan yang terlalu luas dan tidak fokus bisa menjelma menjadi alat tekanan terhadap institusi atau individu tertentu, terutama bila yang dijadikan sasaran adalah entitas bisnis yang selama ini justru menjalankan fungsinya sesuai kerangka regulasi yang berlaku.
Hal ini menjadi semakin problematis apabila aktivitas yang dipermasalahkan ternyata telah melalui audit independen, disahkan dalam RUPS, serta diawasi oleh lembaga negara seperti BPKP, BPK, dan otoritas pajak. Dalam konteks hukum perusahaan, setiap pengambilan keputusan yang sah menurut UU PT dan standar akuntansi, serta telah dilaporkan dalam laporan keuangan yang diaudit, seharusnya tidak serta-merta diasumsikan sebagai perbuatan pidana.
Sayangnya, kecenderungan seperti ini mulai tampak dalam penanganan sejumlah kasus belakangan ini. Khususnya di Kejaksaan Tinggi Lampung. Setidaknya ada enam kasus yang telah lama menggantung, yaitu dugaan korupsi dana hibah KONI Provinsi Lampung tahun 2020 yang berjalan lebih dari dua tahun dan berakhir dengan kekalahan Kejaksaan pada sidang Pra Peradilan atas penetapan tersangka. Kasus lainnya yaitu perjalanan dinas DPRD Tanggamus tahun 2021, pengadaan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) PDAM Way Rilau tahun 2019, serta kasus di PT Lampung Energi Berjaya (LEB) tahun 2022. Kelima, dugaan korupsi penguasaan lahan di kawasan hutan Kabupaten Way Kanan. Serta kasus korupsi pembangunan gerbang rumah dinas Bupati Lampung Timur 2022. Kasus terakhir ini telah menetapkan mantan bupati Lampung Timur Dawam Rahardjo sebagai tersangka. Namun setelah enam bulan lebih mendekam di Rumah Tahanan, kasusnya masih belum naik ke pengadilan. Begitu juga kasus PT. LEB, penyidikan telah berlangsung lebih dari satu tahun, dengan puluhan saksi diperiksa—mulai dari mantan pejabat tinggi hingga pelaku usaha kecil. Namun hingga kini, belum pernah diumumkan secara resmi berapa besar kerugian negara yang dituduhkan, meskipun sudah ada pihak yang ditetapkan sebagai tersangka.
Prinsip penegakan hukum yang adil menuntut lebih dari sekadar semangat untuk mencari pelaku. Ia menuntut kejelasan bukti, kesesuaian prosedur, dan kejujuran intelektual dalam menilai apakah benar telah terjadi tindak pidana. Tanpa itu, penegakan hukum justru bisa melenceng menjadi instrumen tekanan atau bahkan bentuk kesewenang-wenangan.
Akhirnya, menjaga integritas hukum bukan hanya soal menghukum yang bersalah, tetapi juga soal melindungi yang benar. Dan untuk itu, kita perlu menghindari setiap bentuk *fishing expedition*—betapa pun menggiurkan hasil buruannya.
Redaksi//
Mediamabespolri.com
(Investigasi)







