Korporasi Perikanan Pelaku Illegal Fishing Nyaris Tak Tersentuh Hukum, Mengapa?

Humas Mahkamah Agung, Jakarta_ Jumat, 24 Oktober 2025

MEDIAMABESPOLRI.COM – Meski berbagai upaya penegakan hukum dilakukan, praktik penangkapan ikan secara ilegal atau illegal fishing masih marak terjadi di wilayah perairan Indonesia. Ironisnya, korporasi perikanan yang menjadi pemilik dan penyandang dana kegiatan tersebut kerap kali luput dari jerat hukum.

Indonesia memiliki wilayah laut yang sangat luas, sehingga pengawasan terhadap seluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) menjadi tantangan besar. Celah inilah yang kerap dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan praktik penangkapan ikan ilegal.

Ratusan Kapal Terjaring, Kerugian Negara Capai Triliunan Rupiah

Berdasarkan siaran pers Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tertanggal 23 Desember 2024 dan 20 Mei 2025, sebanyak 272 kapal ikan telah diamankan karena terlibat praktik illegal fishing. Dari jumlah tersebut, 39 kapal berbendera asing dan 233 kapal ikan Indonesia.

Kerugian negara akibat aksi tersebut ditaksir mencapai Rp4,474 triliun.

Para nakhoda dan awak kapal yang tertangkap telah diproses hukum, dan barang bukti hasil kejahatan dirampas untuk negara sesuai putusan pengadilan. Namun, korporasi perikanan sebagai pemilik modal dan penyandang dana utama kegiatan penangkapan ilegal, nyaris tak tersentuh proses hukum.

Korporasi Perikanan dalam Perspektif Hukum Mengacu pada Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir, baik berbentuk badan hukum maupun bukan.

Dalam konteks perikanan, korporasi adalah badan usaha yang mengelola kegiatan perikanan secara profesional untuk memperoleh keuntungan.

Kebanyakan armada kapal yang beroperasi di WPPNRI merupakan milik korporasi. Untuk melindungi sumber daya kelautan dan mencegah praktik curang, pemerintah telah menetapkan sistem perizinan berusaha di bidang perikanan melalui UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja.

Meskipun proses perizinan kini lebih mudah dan transparan, kasus illegal fishing tetap marak terjadi—baik oleh kapal ikan Indonesia, kapal asing, maupun kerja sama di antara keduanya yang memanfaatkan lemahnya pengawasan aparat.

Kendala Penegakan Hukum Terhadap Korporasi

Menurut hasil pengamatan dan kajian lapangan, sejumlah kendala membuat korporasi sulit dijerat hukum dalam kasus illegal fishing, antara lain:

Penyidik hanya memiliki waktu 30 hari untuk melengkapi berkas pemeriksaan, sehingga fokus lebih banyak pada awak kapal sebagai pelaku langsung.

Nakhoda dan awak kapal sering menutupi keterlibatan pemilik usaha.

Bukti elektronik berupa komunikasi antara pengurus perusahaan dan awak kapal sulit diperoleh karena sebagian besar dilakukan melalui radio kapal.

Alamat dan identitas perusahaan kerap tidak jelas, bahkan berada di luar negeri.

Korporasi menggunakan perusahaan boneka untuk mengaburkan jejak hukum.

Adanya oknum perantara atau makelar kasus yang berupaya menyuap aparat penegak hukum.

Langkah Strategis Menjerat Korporasi Pelaku Illegal Fishing

Untuk memperkuat penegakan hukum terhadap korporasi pelaku illegal fishing, langkah-langkah berikut direkomendasikan:

Pemeriksaan terpisah (splitsing) terhadap pengurus korporasi untuk efektivitas penyidikan.

Audit menyeluruh atas dokumen perizinan, termasuk Surat Ukur Kapal, Standar Laik Operasi (SLO), Surat Persetujuan Berlayar (SPB), dan logbook kapal.

Pemeriksaan transaksi keuangan dan sumber modal usaha yang mencurigakan.

Analisis data elektronik navigasi dan komunikasi kapal untuk mendeteksi kendali jarak jauh oleh korporasi.

Pemeriksaan saksi kunci seperti nakhoda, fishing master, anak buah kapal (ABK), pejabat pelabuhan, dan mitra bisnis.

Ketentuan pidana bagi korporasi diatur tegas dalam Pasal 84 ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dengan ancaman pidana penjara hingga 10 tahun dan denda Rp2 miliar.

Selain itu, Pasal 92 juga mengatur pidana penjara 8 tahun dan denda Rp1,5 miliar.

Tujuan pemidanaan bukan untuk membalas, melainkan memberikan efek jera, mencegah kejahatan serupa di masa depan, menjaga kelestarian sumber daya laut, serta menegakkan keadilan bagi masyarakat pesisir.

Kesimpulan dan Rekomendasi Korporasi sebagai penyandang dana utama illegal fishing masih leluasa beroperasi karena menggunakan perusahaan boneka untuk menyamarkan keterlibatan mereka.

Pemeriksaan terhadap korporasi perlu difokuskan pada perizinan, dokumen kapal, sumber modal, dan transaksi keuangan yang mengindikasikan praktik ilegal.

Penegakan hukum perlu didukung oleh teknologi satelit, radar, serta kolaborasi internasional guna memetakan dan mengungkap jaringan illegal fishing.

Korporasi yang terbukti bersalah harus dijatuhi hukuman maksimal, berupa pidana penjara bagi penanggung jawab, denda atas kerugian ekonomi dan ekologi, serta pembekuan atau pembubaran badan usaha.

 

Penulis: Saptoyo

Jurnalis: Satria